Kamis, 28 Februari 2019

PAK Dalam Masyarakat Majemuk

I.      PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik, yang terdiri dari berbagai suku bangsa, bahasa, dan agama. Hal ini membuat Indonesia dikenal dengan masyarakatnya yang majemuk. Dalam konteks kemajemukan yang telah menjadi jati diri bangsa Indonesia, maka kesatuan dan kerukunan menjadi kata kunci yang penting bagi kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kesatuan dan kerukunan dapat kita upayakan melalui toleransi antar umat beragama. Selain itu, mengenal dan memahami agama lain juga sangat penting agar tidak terjadi kesalah pahaman. Dialog antar umat beragama juga diperlukan untuk menjaga kesatuan, membina kerukunan serta menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi, agar nantinya tidak terjadi konflik antar agama.
Sebagai orang Kristen yang tinggal di Negara Kesatuan Republik Indonesia, kita juga hidup dalam bingkai agama Kristen yang terdiri dari berbagai denominasi. Mengenal dan memahami denominasi lain, melakukan dialog serta bertoleransi dengan denominasi lain harus kita upayakan demi tercapainya keesaan dan kerukunan antar gereja. Gereja adalah Tubuh Kristus. Oleh karena sebagaimana Tubuh Kristus yang adalah satu, gereja-gereja juga harus bersatu dalam suatu wadah Oikumenis.
II.    PEMBAHASAN

A.   Keanekaragaman Gereja di Indonesia
Agama Kristen di Indonesia memiliki banyak denominasi gereja, mulai dari GPI (Gereja Protestan di Indonesia), sampai pada gereja kharismatik. Gereja Protestan di Indonesia merupakan kelanjutan dari Indische Kerk dengan tradisi Kalvinis; mencakup Gereja Masehi Injili di Minahasa (1934), Gereja Protestan Maluku (1935), Gereja Masehi Injili di Timor (1947), Gereja Toraja (1947), Gereja Protestan di Indonesia Bahagian Barat (GPIB, 1948), Gereja Protestan di Sulawesi Tenggara (1957), Gereja Protestan di Indonesia di Gorontalo (1965), Gereja Protestan Indonesia di Donggala (1965), Gereja Protestan di Indonesia di Buol/Tolitoli (1964), Gereja Kristen Luwuk Banggai (1966), Gereja Protestan Indonesia di Irian Jaya (1985).[1]
Seiring waktu, jumlah gereja bertambah besar dan kekristenan Indonesia semakin beraneka ragam. Penyebab yang pertama ialah mekarnya beberapa gereja akibat unsur kesukuan/kedaerahan, selajutnya karena faktor lain. Demikianlah di Sumatera Utara lahirlah GKPS, GKPI dan HKBP-Angkola (kemudian GKPA), yang melepaskan diri dari HKBP. Di Nias, lahirlah AMIN dan ONKP. Di Sulawesi berdiri GKLB dan GPIL. Penyebab lain bertambahnya gereja di Indonesia adalah masuknya atau perluasan pengaruh denimonasi-denominasi jenis kebangunan. Denominasi-denominasi tersebut antara lain kaum Adventis, Baptis, Metodis, Pentakosta dan juga Injili.
Aliran kebangunan ini datang dari negara-negara Anglosaksis, khususnya dari kalangan kebangunan atau evangelical di Amerika Serikat. Ia masuk ke Indonesia dalam wadah denominasi-denominasi baru (Pentakosta dll), tetapi berpengaruh juga dalam gereja-gereja tradisional, khususnya di jemaat-jemaat kota. Wadahnya di sini ialah gerakan kharismatis, kelompok doa, juga buku-buku Kristen yang diterjemahkan dari buku asli berbahasa Inggris dan yang disebarkan dalam jumlah besar oleh berbagai penerbit.  Ajarannya menekankan akan kesalehan yang hangat, penebusan dosa oleh darah Yesus Kristus, dan kesucian hidup, sehingga menyebabkan aliran ini mudah diterima oleh orang-orang Kristen. Namun aliran kebangunan dari Amerika ini tidak menyenangi pola gereja calvinis. Secara khusus mereka menolak kebiasaan membaptis anak-anak orang percaya, maka masuknya aliran tersebut disamping menjadi sebab berdirinya sebuah gereja baru, menimbulkan pula ketegangan di beberapa gereja yang telah berdiri sebelumnya.[2]

B.   Keesaan Gereja di Indonesia
Keesaan gereja di Indonesia diwujudkan dalam gerakan oikumenis oleh gereja-gereja di Indonesia. Sampai sekitar tahun 1850, di Indonesia belum terdapat gerakan oikumenis, sebab belum ada kepelbagaian gereja. Begitu pelbagai gereja lahir, segera pula muncul upaya untuk mencapai kerjasama dan saling pengertian. Hingga perang dunia kedua, usaha-usaha itu diprakarsai dan dilakukan oleh orang eropa. Mula-mula yang diusahakan hanya kerjasama dan pendekatan antara perseorangan. Dalam abad ke-20 mulai dipikirkan pula kerjasama dan kesatuan antara gereja-gereja. Orang Indonesia makin banyak dilibatkan dalam usaha ini, dan sejak tahun 1945 gerakan oikumenis menjadi urusan orang Indonesia sendiri. Wadah oikumenis yang utama dalam lingkungan protestan di Indonesia ialah DGI/PGI. Di samping itu terdapat beberapa badan yang menyatukan gereja-gereja yang berasal dari tradisi Anglosaksis (AS).
Pada tahun 1946-1947 dibentuklah dua dewan yang boleh disebut sebagai Dewan Gereja-gereja Wilayah, yakni “Dewan Permoesjawaratan Geredja-geredja di Indonesia (DPG) dan Madjelis Oesaha Bersama Geredja-geredja Kristen (MOBK)”. MOBK inilah yang menjadi perintis pembentukan DGI. Pembentukan DGI secara langsung menjadi pokok pembicaraan dalam Sidang Sinode Am GPI yang ke-empat di Bogor (1948). GPI menyatakan mendukung pembentukan majelis Kristen di Indonesia. Dukungannya terbukti dengan terpilihnya sekum MOBGK, Pendeta W. J. Rumambi, menjadi sekum badan pekerja GPI.[3]
Pada Januari 1948, Rumambi menulis nota kepada panitia yang menyiapkan pembentukan Majelis Gereja-gereja Kristen di Indonesia yang berisi beberapa usulan bagaimana pembentukan dewan dengan menggunakan pengalaman keikutsertaanya dalam beberapa sidang (IMC di Whitby, tahun 1947; konferensi pemuda di Oslo, tahun 1947). Pada tahun 1949, diusahakan pendirian DGI sebelum Konferensi East Asia Christian Conference di Bangkok, namun tidak tercapai. Selanjutnya pada tanggal 6-11 November 1949 diadakan Konperensi Persiapan Dewan Geredja-geredja di Indonesia.[4]
Pada tanggal 21-28 Mei 1950 diadakan Konferensi Pembentukan Dewan Gereja-gereja di Indonesia, bertempat di Sekolah Theologia Tinggi (sekarang STT Jakarta). Salah satu agenda dalam konferensi tersebut adalah pembahasan tentang Anggaran Dasar DGI. Pada tanggal 25 Mei, Anggaran Dasar DGI disetujui oleh peserta konferensi dan tanggal tersebut ditetapkan sebagai tanggal berdirinya Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) dalam sebuah "Manifes Pembentoekan DGI":
“Kami anggota-anggota Konferensi Pembentoekan Dewan Geredja-geredja di Indonesia, mengoemoemkan dengan ini, bahwa sekarang Dewan Geredja-geredja di Indonesia telah diperdirikan, sebagai tempat permoesjawaratan dan oesaha bersama dari Geredja-geredja di Indonesia, seperti termaktoeb dalam Anggaran Dasar Dewan Geredja-geredja di Indonesia, jang soedah ditetapkan oleh Sidang pada 25 Mei 1950.
Kami pertjaja, bahwa Dewan Geredja-Geredja di Indonesia adalah karoenia Allah bagi kami di Indonesia sebagai soeatoe tanda keesaan Kristen jang benar menoedjoe pada pembentoekan satoe Geredja di Indonesia menoeroet amanat Jesoes Kristoes, Toehan dan Kepala Geredja, kepada oemat-Nja, oentoek kemoeliaan nama Toehan dalam doenia ini.”
Jadi, hasil dari konferensi ini adalah ditetapkannya kepastian pembentukan DGI pada bulan Mei 1950. Seluruh persiapan pun dimatangkan, dan akhirnya dalam konferensi yang dilaksanakan tanggal 21 - 28 Mei 1950 ini membuahkan hasil. Pada tanggal 25 Mei 1950, DGI terbentuk. DGI bertujuan untuk pembentukan gereja Kristen yang esa di Indonesia.[5]
DGI/PGI pada hakikatnya menggabungkan gereja-gereja yang dihasilkan oleh karya zending Belanda dan Jerman, di samping gereja-gereja yang berasal dari PGI. Gereja-gereja tersebut berakar dalam tradisi Protestanisme Kontinental. Akan tetapi, dalam abad ke-20 masuklah pula tradisi Protestanisme Anglosaksis (negara-negara berbahasa Inggris, terutama Amerika Serikat), yang diwakili oleh berbagai denominasi: Metodis, Baptis, Adventis, Pentakosta, dan oleh badan-badan antar denominasional, seperti Overseas Missionary Fellowship (OMF). Gerakan kharismatik yang masuk dalam tahun 1970-an, dapat dipandang pula sebagai cabang Protestanisme Anglosaksis, khususnya Amerika. Di Indonesia, denominasi-denominasi tersebut masing-masing diwakili oleh beberapa gereja, disebabkan perpecahan yang terjadi setelah masuk ataupun karena memang sudah di tanam oleh utusan dari berbagai badan. Kemudian di kalangan mereka juga muncul gerakan menuju kesatuan ataupun kerjasama antara sesamanya. Gerakan itu menghasilkan Persekutuan Injil Indonesia (PII 1972), dan Dewan Pentakosta Indonesia (DPI 1979). PII pada hakikatnya merupakan persekutuan dan tempat kerja sama orang-orang, badan-badan, dan gereja-gereja yang berpaham “injili” (evangelical), yang hendak menghayati hubungan dan kerja sama di dalamnya. Dan DPI dapat dianggap sebagai Dewan Gereja-gereja dari gereja-gereja yang berpaham Pentakosta. Antara PII dan PGI dalam beberapa hal sudah terjalin hubungan dan kerja sama, tetapi DPI belum bersedia melakukan pendekatan. Di pihak lain, beberapa gereja beraliran Pentakosta sudah menjadi anggota PGI. Gereja-gereja Baptis telah mendirikan Gabungan Gereja-gereja Baptis (1971, hanya meliputi sebagian gereja-gereja itu) dan Aliansi Baptis (1981). Gereja Metodis Indonesia pun tidak menjadi anggota PGI, tetapi memelihara hubungan dengan sesama gereja Metodis di luar negeri.[6]

C.   Kesatuan Dalam Kepelbagaian
Indonesia merupakan bangsa yang terdiri atas berbagai suku bangsa, adat istiadat dan agama; sehingga bangsa Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk. yang hidup tersebar dalam ribuan pulau. Di samping keanekaragaman suku bangsa, Indonesia juga menganut berbagai agama dengan Islam sebagai mayoritas. Kita patut bersyukur kepada Tuhan, bahwa bangsa kita yang terdiri atas berbagai suku, bahasa, dan agama tersebut, dapat bersatu dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika.[7]
Bhineka Tunggal Ika adalah suatu semboyan nasional yang berarti “berbeda-beda tapi tetap satu. Semboyan ini lahir sebagai refleksi atas realitas kemajemukan bangsa, sekaligus sebagai jawaban agar kemajemukan itu tidak memicu disintegrasi, tetapi justru menjadi tiang-tiang penyangga bagi hadirnya sebuah bangsa yang kukuh. Dalam nafas Bhineka Tunggal Ika itu keragaman dipahami sebagai asset yang berharga, sehingga menjadi bagian-bagian indah dalam mosaik keindonoesiaan. Keragaman Indonesia terlihat dengan jelas pada aspek-aspek geografis, etnis, sosio kultural dan agama. Jumlah pulau yang amat banyak, suku-suku dengan bahasa, budaya, adat istiadat dan agama yang berbeda-beda menampilkan kekayaan Indonesia yang tidak ternilai harganya. Kebinekaan yang menjadi warna dari masyarakat dan bangsa Indonesia tetap mampu menonjolkan keikaannya, karena adanya nilai-nilai budaya yang menjadi ciri khas bangsa kita, yaitu gotong-royong, kekeluargaan, musyawarah, tenggang rasa, yang kesemuanya memperkukuh semangat toleransi dan kerukunan di kalangan masyarakat dan bangsa kita.[8]
Kesatuan bangsa Indonesia adalah berdasarkan Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, dan Bhineka Tunggal Ika, yang pada tahun 1998 diserukan dalam Seruan Bersama Majelis-majelis Agama di Indonesia, yang terdiri dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Parsida Hindu Dharma Indonesia (PARISADA), dan Perwalian Umat Budha Indonesia (WALUBI), yang tergabung tergabung dalam Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama, yang pada poin ketiga berbunyi sebagai berikut:
(3) Kepada seluruh komponen bangsa agar terus menerus memelihara serta memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, mempertahankan kelestarian Negara Kesatuan Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke; menggalang kebersamaan serta mewujudkan persaudaraan yang tulus dan sejati tanpa terkotak-kotak oleh sekat suku, agama, ras, dan antar golongan, tidak dipilah-pilah berdasrkan kepentingan golongan, dan ikatan primordial. Seiring dengan itu seluruh komponen bangsa diimbau untuk dapat menahan diri, menciptakan iklim yang kondusif serta menjauhkan diri dari ucapan serta serta sikap yang dapat menimbulkan disintegrasi bangsa.[9]
Kesatuan bangsa dan negara harus diusahakan, dipelihara dan diperkembangkan dalam konteks konsensus-konsensus nasional kita. Artinya, kesatuan itu mesti kita laksanakan di dalam mendukung dan tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Itu berarti kesatuan tidak boleh mengurangi dan membatasi kebebasan beragama, berbudaya dan bernegara, melainkan justru mendukung kebebasan tersebut. Kebebasan harus dalam keseimbangan yang dinamis, maksudnya kebebasan tidak boleh merusak kerukunan, sebaliknya kerukunan tidak boleh mematikan kebebasan. Kesatuan dan persatuan bangsa harus diletakkan dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang tidak terkotak-kotak atau terpisah-pisah.[10]


III.   PENUTUP

Kesimpulan

Keanekaragaman gereja di Indonesia dapat dilihat dari banyaknya denominasi gereja ada. Semakin banyaknya denominasi gereja di Indonesia disebabkan oleh unsur kesukuan/kedaerahan dan faktor masuknya denominasi-denominasi kebangunan atau evangelical yang datang dari Amerika Serikat. Semakin banyaknya denominas gereja membuat gereja-gereja di Indonesia berupaya untuk mencapai kerjasama dan saling pengertian. Semua itu baru terwujud pada tanggal 25 Mei 1950, setelah DGI terbentuk.  DGI bertujuan untuk pembentukan gereja Kristen yang esa di Indonesia. Namun, keesaan itu belum terwujud karena masing-masing aliran gereja membentuk gerakan oikumenis sendiri-sendiri.
Selain memiliki keanekaragaman gereja, Indonesia merupakan masyarakat majemuk yang beraneka ragam suku bangsa, bahasa dan agama. Kita disatukan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang berdasarkan Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, dan memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tapi tetap satu. Oleh karena itu, kita wajib terus menerus memelihara serta memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa.


DAFTAR PUSTAKA

Heuken2004. Ensiklopedi Gereja Jilid 2: C-G. Jakarta: Ikrar Mandiri Abadi.
Van Den End. 2009.  Ragi Carita 2. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
De Jonge. 2014. Menuju Keesaan Gereja: Sejarah Dokumen-dokumen dan Tema-tema Gerakan Oikumenis. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Sairin, Weinata. 2006. Kerukunan Umat Beragama: Pilar Utama Kerukunan Berbangsa. Jakarta: BPK Gunung Mulia.





[1] Heuken, Ensiklopedi Gereja: 2, C-G (Jakarta: Ikrar Mandiri Abadi, 2004), hal. 241.
[2] Van Den End, Ragi Carita 2 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), hal. 357-365.
[3] Van Den End, Ragi Carita 2 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), hal. 385-386.
[4] De Jonge, Menuju Keesaan Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2014), hal. 86.
[5] http://id.wikipedia.org/wiki/Persekutuan_Gereja-gereja_di_Indonesia/.
[6] Van Den End, Ragi Carita 2 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), hal. 392.
[7] Weinata Sairin, Kerukunan Umat Beragama: Pilar Utama Kerukunan Berbangsa (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), hal. 55-56.
[8] Weinata Sairin, Kerukunan Umat Beragama: Pilar Utama Kerukunan Berbangsa (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), hal. 14.
[9] Weinata Sairin, Kerukunan Umat Beragama: Pilar Utama Kerukunan Berbangsa (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), hal. 123-124.
[10] IBID, hal. 138.

Rabu, 27 Februari 2019

ROBERT RAIKERS DAN SEJARAH SEKOLAH MINGGU

Sejarah Perkembangan Sekolah Minggu

A.   Latar Belakang Berdirinya Sekolah Minggu
Sejak dahulu, anak-anak merupakan bagian atau bagian penting dalam gereja Kristen. Sekolah minggu merupakan sarana untuk anak-anak memperoleh PAK (Pendidikan Agama Kristen). Gerakan sekolah minggu dimulai pada tahun 1780 di Gloucester, Inggris oleh Robert Raikes. Sekolah minggu adalah sekolah untuk anak-anak terlantar (“Ragged School”) dimana mereka diajar membaca, menulis dan berhitung.[1]
Tidak ada pokok yang lebih penting yang berkaitan dengan berdirinya Sekolah Minggu daripada pembahasan pokok mengenai Revolusi Industri. Pentingnya pokok ini tampak bila diingat bahwa Sekolah Minggu merupakan salah satu jawaban sederhana terhadap dampak negatif dari revolusi atas diri kaum buruh yang dimulai di Inggris, khususnya para buruh yang masih muda sekali. Para buruh ini merupakan hasil dari “masyarakat mesin” baru.
Berawal dari perkembangan teknologi yang menyebabkan pergeseran tenaga kerja manusia ke tenaga mesin uap. Penemuan mesin uap  yang seharusnya menjadi dampak yang positif ternyata justru sebaliknya. Mungkin bagi para pengusaha hal ini merupakan dampak yang positif namun bagi kaum miskin menjadi suatu dampak yang negatif.
Masa perkembangan ini lebih dikenal dengan istilah “Revolusi Industri” dan revolusi ini berpusat di Inggris pada pertengahan abad ke-18. Revolusi industri memaksa para orang tua bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Dan yang lebih menyedihkan ialah anak-anak terpaksa meninggalkan zona yang semestinya mereka berada yaitu sekolah. Karena kebutuhan ekonomi akhirnya para anak-anak bekerja di pabrik-pabrik dengan upah yang minim. Mereka kehilangan masa-masa yang seharusnya mereka bisa bercanda dan bermain bersama keluarga dan teman.
Tentunya hal ini menyebabkan tingkat kriminal di Inggris terus meningkat yang sangat mempengaruhi generasi bangsa. Akan tetapi pada waktu itu pemerintahan di Inggris hanya terfokus pada pemberantasan dan memberikan hukuman tanpa mencari tahu penyebab utamanya. Padahal penyebab utamanya ialah tidak adanya pendidikan anak yang layak. Karena pendidikan anak itu sangatlah penting untuk perkembangan moral dan intelektual bagi si anak itu sendiri.
Kondisi ini membuat hati  seorang pemilik media cetak di Gloucester Inggris tergerak untuk menyelesaikan masalah ini. Ia adalah “Robert Raikes”. Awalnya ia hanya terfokus pada para narapidana yang dipenjara. Karena terlalu tinggi tingkat kriminalnya menyebabkan penjara itu penuh. Raikes mengambil langkah dengan cara melakukan pendekatan langsung dan ia juga mengambil beberapa persen hasil penjualan korannya untuk biaya para narapidana. Bagi Raikes narapidana di Gloucester ini adalah korban atas revolusi industri.
Tidak hanya itu saja yang dilakukan oleh Raikes akan tetapi ia juga melakukan kritik kepada pemerintah melalui surat kabar yang dicetaknya. Bahkan Adam Smith juga meluncurkan kritikan terhadap pemerintah Inggris. Dalam karangannnya yang termasyhur yaitu “An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nation”, ia berdalil bahwa kekayaan Inggris terdiri atas tenaga kerja  dan bukan beratnya  emas dan juga tidak pada kekayaan yang berporos pada sejumlah hektar lahan yang dimilkinya. Smith berkata “setiap orang cenderung mencari keuntunganya sendiri”, namun usahanya tetap tidak di perhatikan oleh pemerintah.[2]

B.   Riwayat Robert Raikes
Robert Raikes (lahir 14 September 1736 – meninggal 5 April 1811 pada umur 74 tahun) adalah seorang dermawan Inggris yang dikenal sebagai bapak pendiri Sekolah minggu. Ia lahir di Gloucester pada 1736, anak sulung dari pasangan Mary Drew dan Robert Raikes seorang penerbit surat kabar di Inggris. Ia dibaptis pada tanggal 24 September 1736 di gereja St. Mary de Crypt di Gloucester. Pada 23 Desember 1767, ia menikah dengan Anne Trigge, seorang wanita yang berasal dari keluarga terhormat, dan dikaruniai tiga anak laki-laki dan tujuh anak perempuan.
Ia menyelesaikan pendidikan dasarnya di sekolah milik Gereja St. Mary de Crypt tempat ia dibaptiskan. Setelah lulus pendidikan dasar, pada usia empat belas tahun, ia melanjutkan studi di sekolah Katedral Gloucester. Suasana sekolah ini begitu ketat. Anak-anak dididik dengan kurikulum yang klasik. Pada pukul enam pagi, mereka mengawalinya dengan ibadah. Ibadah dimulai dengan pembacaan mazmur, doa, renungan, dan nyanyian rohani. Di sekolah ini, para murid dituntut menguasai beberapa bahasa, antara lain bahasa Yunani, Latin, dan Prancis.
Setelah menyelesaikan pendidikan di Katedral Gloucester, Raikes tidak melanjutkan pendidikannya. Ia lebih tertarik pada pekerjaan yang digeluti ayahnya di bidang percetakan. Pada 1757, ia diwariskan perusahaan milik ayahnya yakni Gloucester Journal. Karena kemampuannya di bidang penerbitan dan percetakan, pada usia 21 tahun, ia telah mengambil alih seluruh urusan yang berkaitan dengan penerbitan Gloucester Journal.
Pada usia mudanya, Robert aktif pada bidang sosial, khususnya menolong mereka yang miskin dan berada di penjara. Untuk menolong mereka, ia melakukan berbagai upaya, antara lain mengumpulkan dana- untuk peningkatan kondisi kesehatan di penjara dan perlakuan yang lebih manusiawi- dan menyelenggarakan pembinaan bagi para napi.[3] Robert Raikes dikenal sebagai penggagas sekolah minggu. Pada abad 18, Inggris sedang dilanda krisis ekonomi yang sangat parah sebagai akibat Revolusi Industri. Robert Raikes melihat banyak anak-anak yang harus menjadi tenaga kerja di pabrik-pabrik sebagai buruh kasar dan bekerja enam hari dalam seminggu, yaitu pada hari senin hingga sabtu. Hari minggu mereka libur. Oleh karena itu, pada hari Minggu, mereka menjadi liar dikarenakan hanya pada hari inilah mereka bisa beriang gembira. Kebanyakan dari mereka menghabiskan uang penghasilan mereka dengan hal-hal yang tidak berguna seperti minum-minuman keras.
Melihat keadaan itu, Robert Raikes bertekad untuk mengubah keadaan. Ia kemudian memulai sekolah minggu ini di dapur Ny. Mederith di kota Scooty Alley pada Juli 1780. Di sana, selain mendapat makanan, anak-anak diajarkan sopan santun, membaca, dan menulis. Menurut Raikes, buku pelajaran yang terbaik yang bisa dipakai adalah Alkitab.
Dalam dua tahun, sekolah minggu dibuka di beberapa sekolah dan di sekitar Gloucester. Raikes kemudian mempublikasikan sekolah minggu melalui Gentleman's Magazine, dan juga Arminian Magazine pada 1784. Akhirnya atas bantuan John Wesley (pendiri Gereja Methodis), kehadiran sekolah minggu diterima juga oleh gereja, mula-mula oleh Gereja Methodis, akhirnya gereja-gereja Protestan lain. Pada tahun 1831, sekolah minggu di Inggris telah mengajar 1.250.000 anak, sekitar 25 persen dari populasi.[4]
C.   Berdirinya Sekolah Minggu
Pada tahun 1780 Raikes pergi kerumah seorang tukang kebun dan dia melihat kebanyakan pekerjanya adalah anak-anak. Seorang Ibu mengeluhkan kenakalan anak-anak pada hari Minggu, lalu ia memohon dengan sangat agar Raikes berbuat sesuatu. Setelah pulang ke rumah, Raikes mengambil keputusan untuk melakukan percobaan dengan sekolah sederhana bagi anak miskin.
Untuk mendidik anak-anak, Raikes meminta bantuan seorang ibu dan Raikes sendiri yang membayar gajinya. Atas permintaan seorang editor surat kabar yang baik, Robert Raikes, ibu Meredith menerima segerombolan anak jalanan ke dapur rumahnya di Sooty Alley. Raikes bahkan membayar ibu Meredith satu shilling setiap hari Minggu untuk mengajar anak-anak berpakaian compang-camping ini membaca Alkitab dan mengulanginya di luar kepala. Tetapi anak-anak ini luar biasa bandel. Terkungkung di sebuah pabrik yang basah dan gelap di Gloucester, Inggris, selama enam hari dalam satu minggu, mereka hanya dapat kesempatan bergembira ria pada hari Minggu, dan pada hari-hari Minggu itulah mereka menjadi liar. Setiap Minggu para petani dan pemilik toko merasa takut pada kenakalan anak-anak ini. Robert Raikes berharap bahwa “Sekolah Minggu” ini akan mengubah hidup mereka, namun mereka membawa kebiasaan mereka yang menjijikkan dan mengerikan itu ke dapur ibu Meredith. Namun dengan kenakalan anak-anak, ibu ini tidak mampu dan berhenti mendidik anak-anak miskin itu, Ibu Meredith tidak sanggup menanganinya.
Raikes tidak membiarkan niatnya pupus. Ia memindahkan sekolah Minggunya ke dapur Ny. King tempat May Critchley mengajar mereka dari pukul sepuluh sampai pukul dua belas siang dan dari pukul satu sampai dengan pukul lima pada petang hari. Ia menghendaki anak-anak hadir setelah tangan dicuci dan rambut disisir. Dalam waktu yang singkat anak-anak itu mau belajar. Tidak lama kemudian terkumpul sembilan puluh anak menghadiri sekolah Minggu pada setiap hari Minggu. Perlahan-lahan mereka belajar membaca.
Hal ini bukanlah upaya pertama Raikes bagi pembaruan masyarakat. Sebagai seorang Gloucester Journal yang berpikiran liberal, ia sangat sadar akan roda kemiskinan dan kriminalitas. Orang-orang yang tidak dapat membayar utang dipenjarkan dan bila mereka keluar, tidak ada kehidupan bagi mereka. Maka mereka terdorong berbuat kejahatan. Selama bertahun-tahun Raikes berupaya bekerja bersama mantan napi, untuk membantu mereka agar tidak berbuat kejahatan, namun sia-sia.
“Dunia bergerak maju di atas kaki anak-anak kecil.” Kalimat yang berasal dari Raikes itu mengungkapkan pemikiran sekolah Minggu ini. Para orang dewasa telah berjalan terlalu jauh,  tetapi anak-anak baru memulainya.
Masalah yang dihadapinya ialah ketidaktahuan. Anak-anak (dari keluarga) kurang mampu tidak pernah mendapatkan kesempatan pergi ke sekolah mereka harus bekerja untuk membantu keluarga. Akibatnya, mereka tidak dapat beranjak dari kemiskinan. Namun, jika mereka dapat  belajar pelajaran dasarnya membaca, menulis, berhitung dan moralitas alkitabia pada hari libur satu harinya, suatu saat mereka mungkin mengubah semuanya itu.
Jadi, eksperimen itu berawal dari Sooty Alley. Lambat-laun ide ini bertumbuh. Pada tahun 1783, dengan kepercayaan diri bahwa eksperimennya telah berhasil, Raikes mulai mengumumkannya dalam hariannya. Dengan hati-hati ia melaporkan alasan dan hasilnya. Ide tersebut menjadi populer.
Orang-orang Kristen yang terpandang mendukung ide tersebut. John Wesley menyukainya, dan kelompok Wesley pun mulai melakukannya. Penulis populer, Hannah More, mengajar agama dan memintal pada gadis-gadis di Cheddar. Seorang pedagang dari London, William Fox, pernah menyumbangkan ide serupa, namun memutuskan menunjang proyek Raikes. Pada tahun 1785,  Fox mendirikan perkumpulan untuk menunjang dan mendukung banyak sekolah Minggu di berbagai kawasan di Inggris.
Ratu Charlotte pun membenarkan sekolah Minggu tersebut. Ia memanggil Raikes untuk mendengarkan hal itu dan kemudian ia mengizinkan namanya dipakai untuk upaya pengumpulan dana yang dilaksanakan Fox.
Kemasyhuran membawa pertentangan juga dari para konservatif yang takut akan terganggunya hari Sabat oleh para pedagang, yang khawatir akan kehilangan bisnis pada hari Minggu. Ada beberapa teman Raikes yang mengejeknya “Bobby Wild Goose (pengejar sesuatu yang tidak mungkin tercapai) dan Resimen Gembelnya”.
Namun, hingga tahun 1787, ada seperempat juta anak-anak menghadiri sekolah Minggu di Inggris. Lima puluh tahun kemudian, ada 1,5 juta anak di seluruh dunia yang dididik oleh 160.000 tenaga pengajar. Yang menggembirakan ialah perkembangan Manchester pada tahun 1835. Sekolah Minggu tersebut terdiri dari 120 tenaga pengajar, yang 117 di antara mereka adalah mantan murid-murid sekolah-sekolah Minggu itu sendiri.[5]
Dari hasil yang telah dicapai Raikes, ada beberapa pihak yang tidak senang dengan apa yang telah dia lakukan. Misalnya Perdana Menteri Pitt, pemilik pabrik, bahkan dari pihak gereja. Ia juga mendapat kecaman dari pendeta-pendeta. Dalam sejarah PAK, Raikes dihargai sebagai seorang awam dengan hati nurani yang di bentuk oleh hubungannya dengan iman Kristen.[6]
D.   Gambaran Tentang Beberapa Sekolah Minggu Pertama
Tahun 1784, Raikes mencetak peraturan-peraturan bagi  Sekolah Minggu yang disusun oleh Pdt. W. Ellis, yang akan dipakai oleh Sekolah Minggu di Sttroud. Di Boughton, daerah Kent, pembukaan Sekolah Minggu diumumkan dengan tujuan:
                  Untuk membuka peluang pendidikan bagi anak-anak yang berasal dari keluarga miskin di daerah ini, tanpa mengganggu pekerjaan mereka pada hari kerja biasa, dan untuk membiasakan anak-anak sejak usia muda untuk selalu beribadah setiap hari Minggu serta menghabiskan jam senggang pada hari Minggu melalui kegiatan yang baik dan teratur. Anak itu akan diajari membaca, mengenal tanggung jawab seorang Kristen, khususnya untuk belajar rajin dan berkelakuan baik sesuai dengan keperluannya sebagai buruh dan pembantu di kemudian hari.
Tahun 1784, di kota Leeds terdapat 26 sekolah dengan 2000 pelajar yang diajar oleh 45 orang guru. Tahun 1785 didirikan The Sunday School Society (Perhimpunan Sekolah Minggu). Selama 10 tahun pertama, perhimpunan itu telah membagi-bagikan 91915 buah buku untuk mengajarkan anak membaca, 24232 buah Kitab PL/PB, dan 5360 Alkitab. Sumbangan itu dipakai oleh 65000 anak-anak yang belajar pada 1012 Sekolah Minggu. Selama 28 tahun berdirinya Sekolah Minggu, ada sekitar 400000 anak didik di Inggris. Kurikulum Sekolah Minggu pada waktu itu antara lain kedisiplinan, membaca, menulis, menghitung, pengetahuan Alkitab, dan pelajaran katekimus.[7]
E.   Pertumbuhan Sekolah Minggu
  1.    Sekolah Minggu di Amerika
Tahun 1790, Benyamin Rush, Matthew Carey dan William White mendirikan Perserikatan Hari Pertama, untuk mendidik anak-anak dari keluarga miskin. Tahun 1816, Ibu Joanne Bethune mendirikan Perserikatan Wanita bagi Kemajuan Sekolah Sabat di New York. Tahun 1824, para memimpin Sekolah Minggu mendirikan American Sunday School Union (Perserikatan Sekolah Minggu di Amerika) di kota Philadelphia.
Dalam sidang raya tahun 1830, ditetapkan tujuan yang berlaku untuk dua tahun mendatang, yaitu untuk mendirikan Sekolah Minggu pada setiap pelosok daerah yang luasnya meliputi seluruh lembah Mississippi.Kurikulumnya berupa pelajaran membaca, menulis, dan pelajaran Alkitab. Hasil Pelayanan Union Sunday School antara lain banyak kelompok anak-anak yang diajar membaca, menulis dan belajar Alkitab. Banyak Sekolah Minggu yang bertumbuh menjadi  sekolah negeri dan jemaat yang beribadah.
Ada dua orang pekerja Sunday School yang sangat menonjol dalam mengembangkan Sekolah Minggu. Kedua orang itu adalah John McCullagh dan Stephen Paxson. Selama jangka waktu 20 tahun Stephen Paxson telah mendirikan lebih dari 1200 Sekolah Minggu. Kebanyakan sekolah itu kelak bertumbuh menjadi jemaat.[8]
  2.    Sekolah Minggu di Jerman
Pendirian Sekolah Minggu di Jerman diprakarsai pada tahun 1860 oleh Wilhelm Broeckelmann dan Albert Woodruff. Keduanya adalah wakil dari Perserikatan Sekolah Minggu London. Sekolah Minggu di Jerman hendak mengajar anak-anak miskin untuk membaca, meniulis dan berhitung disamping membimbing mereka ke dalam iman Kristen. Di Jerman, gagasan Sekolah Minggu di-Jermankan menjadi Kindergottesdients (kebaktian anak-anak). Sesuai dengan namanya, maka titik beratnya adalah kebangunan rohani dalam diri anak-anak melalui kebaktian dan bimbingan dari Alkitab.[9]
  3.    Sekolah Minggu di Belanda
Gagasan Sekolah Minggu dibawa oleh Dr. Abraham Capadose ke Belanda dari Swiss, pada bulan Oktober tahun 1836 di kota Grevenhage. Pada tahun 1841 sebuah Sekolah Minggu didirikan di kota Amsterdam dan pada tahun 1847 di kota Rotterdam. Pertumbuhan paling besar terjadi pada tahun 1857, oleh karena keputusan pemerintah Belanda yang melarang penggunaan Alkitab dalam Sekolah Negeri. Awal tahun 1858 sudah ada 50 buah Sekolah Minggu di Belanda. Tanggal 23 Oktober 1865 diadakan mufakat tentang jenis organisasi Sekolah Minggu di Belanda. Organisasi itu di sebut Nederlandse Zondaggschool Vereniging (Perkumpulan Sekolah Minggu Belanda). Akhirnya, jumlah sekolah minggu di Belanda bertambah dan menjadi bagian dari pelayanan gereja.[10]
Melihat keberhasilan Raikes, gereja kemudian mengambil alih model pelayanan itu menjadi pekabaran Injil. Di abad ke-20 muncul bahan mengajar pelajaran sekolah minggu yang berjenjang, dan mulai terjadi pergeseran dari maksud utama untuk pekabaran Injil menjadi ajang pembinaan. Gereja memakai pembinaan ini menjadi alat yang efektif dalam mengarahkan anak-anak kepada Kristus. Akhir abad ke-19 sampai awal ke-20, muncul kesadaran untuk menangani Sekolah minggu secara lebih professional. Ilmu pendidikan mulai diterapkan. Pada tahun 1922 berdirilah “Internasional Sunday School Council of Religious Education”, yang pada tahun 1924 berubah nama menjadi “The Internasional Council of Religious Education”. Dengan berdirinya ke 2 lembaga tersebut, Sekolah minggu menjadi semakin maju, dengan teori-teori pendidikan yang modern, yang lebih berpusat pada anak.[11]


DAFTAR PUSTAKA


Ismail, Andar.  2003. Ajarlah Mereka Melakukan. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Boehlke, Robert. 2009. Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama KristenDari Yohanes Amos Comenius sampai Perkembangan PAK di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Kadarmanto, Ruth. 2009. Tuntunlah ke Jalan yang Bena: Panduan Mengajar Anak di Jemaat. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Curtis, dkk. 2007. 100 Peristiwa Penting Dalam Sejarah Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia.




[1] Andar Ismail, 2003, Ajarlah Mereka Melakukan, (Jakarta : BPK Gunung Mulia), Hal. 7.
[2] Boehlke, 2009. Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), Hal 375-378.
[3] Kadarmanto R, 2009, Tuntunlah ke Jalan yang Benar, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), Hal. 26.
[4] Boehlke, 2009, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), Hal 379-390.
[5] Curtis dkk, 2007, 100 Peristiwa Penting Dalam Sejarah Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), Hal. 111-113.
[6] Boehlke, 2009, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), Hal 390-393.
[7] Boehlke, 2009, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), Hal 393-398.
[8] Boehlke, 2009, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), Hal 398-416.
[9] Ibid Hal 417-418.
[10] Boehlke, 2009, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), Hal 418-421.
[11] Lie Paulus, 2008, Mereformasi Sekolah Minggu, (Bandung: ANDI), hal. 110-111.

RANGKUMAN MATERI PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DALAM MASYARAKAT MAJEMUK


DAFTAR ISI

Materi 1 :  Gereja Dan PAK Di Indonesia...................................................................... 2
Materi 2 : Sekolah Dan PAK Di Indonesia.................................................................... 4
Materi 3 : PAK Dalam Konteks Masyarakat Indonesia................................................ 6
Materi 4 : Pemahaman PAK............................................................................................ 8
Materi 5 : Realitas Pluralisme Masyarakat Indonesia ............................................... 10
Materi 6 : Pluralisme Masyarakat Di Indonesia........................................................... 12
Materi 7 : PAK Dalam Masyarakat Majemuk................................................................ 14
Materi 8 : PAK Dan Keterbukaan.................................................................................. 16
Materi 9 : Prinsip-Prinsip PAK Dalam Masyarakat Majemuk.................................... 18
Materi 10 : Sikap Yang Perlu Di Hindari Dalam Masyarakat Majemuk................... 20
Materi 11 : Pendekatan PAK Dalam Masyarakat Majemuk....................................... 22
Materi 12 : Strategi PAK Dalam Masyarakat Majemuk............................................... 24
Materi 13 : Pengembangan Model PAK....................................................................... 26
Daftar Pustaka.................................................................................................................. 28



MATERI I : GEREJA DAN PAK DI INDONESIA
A.   PAK Dalam Konteks Gereja
1.    Tugas Utama Gereja
Bagi gereja PAK adalah tugas utama dan harus mendapat tempat penting dari seluruh pelayanannya. Gereja yang terlalu menekankan pada pelayanan ibadah dan khotbah dan mengabaikan pengajaran akan gereja yang timpang.
2.    Merupakan Usaha Sungguh-sungguh
Bagi gereja PAK bukanlah usaha sambilan atau kelas dua dalam pelayanan jemaat, tetapi haruslah merupakan usaha sungguh-sungguh.
3.    Berkesinambungan
Agar memperoleh hasil yang maksimal penyelenggaraan PAK haruslah merupakan usaha berkesinambungan dan terus-menerus.
4.    Ruang Lingkup PAK Dalam Gereja
Dalam tradisi gereja-gereja yang ada, pada umumnya pelayanan di dalam gereja dibagi dalam komisi-komisi.
B.   PAK Dalam Konteks Sekolah
1.    Kurikulum Pendidikan Agama Kristen
Keberhasilan PAK tidak hanya terletak pada tersusunnya materi kurikulum yang baik, tetapi juga ditentukan oleh faktor-faktor lain. Jika kurikulum baik tetapi mutu guru tidak baik maka hasilnya juga tidak akan baik. Kurikulum baik, guru baik tetapi sarana dan prasarana tidak baik, hasilnyapun tidak akan maksimal.
2.    Mutu dan Kualitas Guru PAK
Kurangnya guru-guru agama Kristen menjadi hambatan utama, karna formasih pengangkatan guru agama Kristen jauh dari kebutuhan-kebutuhan yang ada. Banyak peserta didik yang beragama Kristen tidak mendapatkan pendidikan agama di sekolah karna tidak tersedianya guru yag mengajar.
3.    Sarana dan Prasarana Penyelenggaraan PAK di Sekolah
Keprihatinan lain adalah terbatasnya sarana dan prasarana penyelenggaraan PAK di sekolah. Sering di temui bahwa sekolah tidak enyediakan sarana yang memadai untuk penyelenggaraan PAK. Kadang guru harus mengajar PAK di perpustakaan sekolh, atau di salah satu ruang kecil saja, bahkan ada yang mengajar di gang yang terdapat di sekolah.
C.   PAK Dalam Konteks Masyarakat Indonesia
Pendidikan Agama Kristen di Sekolah haruslah mengarahkan kepada keterbukaan. Ada empat prinsip utama dari Pendidikan Agama Kristen yaitu, Learning to know, Learning to do, Learning to be, Learning to live together.[1]
D.   Tantangan dan pergumulan yang dihadapi oleh Gereja
Gereja sadar bahwa dunia ini kini terlibat pula dalam suatu krisis yang hebat. Umat manusia seakan-akan berlomba-lomba untuk saling membinasakan. Gereja seolah-olah kehilangan daya dan semangat untuk membarui dirinya sendiri senantiasa. Seakan-akan tak sanggup lagi melahirkan anak-anak Tuhan yang sejati, yang hidup dalam percaya dan yang mempengaruhi lingkungannya karena kuasa Roh Kudus yang mendiami mereka itu.[2]

MATERI II : SEKOLAH DAN PAK DI INDONESIA
A.   Kurikulum Pendidikan Agama Kristen
PAK disekolah di Indonesia diselenggarakan dengan dasar hukum UUD 1945 BAB XI, pasal 29 no.2, UU no 4 tahun 1950 No 12 tahun 1954 BAB 9 ayat 1, kep. Bersama Mentri Agama dan Menteri P & K tahun 1953, intruksi no 51 / 1967,  kep. Bersama Mendikbud dan Menag tahun 1985, dan GBHN 1983 serta 1993.[3]
Dalam kurikulum, tujuan pengajaran PAK disebut kompetensi yang didasari oleh nilai-nilai kristiani. PAK adalah mata pelajaran yang bermuatan ranah afektif dan psikomotorik lebih besar daripada kognitif, sehingga melalui PAK, siswa mengalami perjumpaan dengan Allah lewat Yesus Kristus, Sang sumber nilai-nilai yang membawa perubahan dalam diri anak.
B.   Kualitas dan Peranan Guru
Menjadi seorang guru harus memiliki kompetensi Pedagogi, Kepribadian, Sosial dan Profesional. Secara khusus untuk Guru Pendidikan Agama Kristen ialah Kepemimpinan. Seorang guru harus mempunyai pengetahuan yang cukup tentang isi iman Kristen. Ia harus mengenal Alkitab dengan baik. Untuk itu ia sendiri perlu dididik dan dilatih sebelum ia mengajar orang lain.[4]      Untuk itu guru hendaknya memahami prinsip-prinsip bimbingan dan menerapkannya dalam proses belajar-mengajar.[5]
Guru yang baik adalah guru yang apat menimbulkan minat dan semangat  belajar siswa-siswa melalui mata pelajaran yang diajarkannya, Memiliki kecakapan untuk memimpin,dapat menghubungkan materi pelajaran dengan pekerjaan-peerjaan praktis. Dalam hal hubungan siswa dengan guru, yaitu guru yang dicari oleh siswa untuk memperoleh nasihat dan bantuan, mencari kontak dengan siswa di luar kelas, memimpin kegiatan kelompok, memiliki minat dalam pelayanan sosial, membuat kontak dengan orang tua siswa. Sikap professional, yaitu guru yang ukarela untuk melakukan pekerjaan ekstra, dapat menyesuaikan diri dan sabar, memiliki sikap yang konstruktif dan rasa tanggung jawab, berkemauan untuk melatih diri, memiliki semangat untuk memberikan layanan kepada siswa, sekolah dan masyarakat.[6]
C.   Sarana dan PraSarana Pendidikan
a.    Alat pelajaran adalah alat – alat yang di gunakan untuk merekam – rekam bahan pelajaran atau alat pelaksanaan kegiatan belajar.
b.    Alat peraga adalah segala macam alat yang digunakan untuk meragakan ( mewujudkan, menjadikan terlihat ) objek materi pelajaran ( yang tidak tampat mata atau tak terinra atau susah untuk diindra )
c.    Media pendidikan adalah sarana pendidikan yang digunakan sebagai perantara dalam proses pembelajaran.ada 3 jenis media yaitu audio, visual, dan audio visual.[7]



MATERI 3 : PAK DALAM KONTEKS MASYARAKAT DI INDONESIA
A.   PAK dan Heterogenitas
Pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.[8] Tujuannya untuk membina dan mendidik semua warganya mencapai tingkat kedewasaan dalam iman, pengharapan, dan kasih, guna melaksanakan misinya di dunia ini sambil menantikan kedatangan kedua dari Tuhan Yesus Kristus.[9] Sedangkan menurut Robert Boiehlke, tujuan PAK agar peserta didik memahami dan menghayati Kasih Allah dalam Yesus Kristus, yang dinyatakannya dalam kehidupan sehari-hari, terhadap sesama dan lingkungannya.[10] Werner Graendorf pun mengatakan bahwa Pendidikan Agama Kristen adalah proses pengajaran yang membimbing setiap pribadi pada semua tingkat pertumbuhan melalui pengajaran masa kini kearah pengenalan dan pengalaman rencana dan kehendak Allah melalui Kristus dalam setiap aspek kehidupan, dan memperlengkapi mereka bagi pelayanan yang efektif.[11]
Heteronegitas adalah keanekaragaman.[12] Keanekaragaman yang dimaksud adalah agama, budaya, suku, maupun pekerjaan. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang heterogen, hal itu dapat dibuktikan salah satunya dengan keberagaman agama.  Pendidikan Agama Kristen harus memainkan peranan yang sangat penting karena generasi muda yang dididik baik di gereja maupun di sekolah adalah generasi yang hidup dalam konteks heterogenitas. 

B.   Kemandirian Iman
Pendidikan Agama Kristen harus menjadi salah satu usaha pembentukan kemandirian iman, sehingga peserta didik mampu memiliki ketetapan iman maupun ketetapan hati meskipun ia berada di lingkungan yang berbeda dengannya. Dengan demikian, peserta didik akan mampu menempatkan dirinya di tengah-tengah pergaulan sekolah dengan tidak kaku, namun tetap menjaga kemandirian imannya, serta mampu menolak segala tren-tren kehidupan yang bertentangan dengan nilai-nilai iman yang dimilikinya.

C.   Keterbukaan
Pendidikan Agama Kristen haruslah mampu membawa peserta didik pada keterbukaan. Keterbukaan akan menghindarkan diri dari menjelek-jelekan agama lain, tetapi melihat secara positif bahwa dalam agama lain pun terdapat ajaran-ajaran baik yang dapat diterapkan dalam kehidupan bersama. Keterbukaan memungkinkan peserta didik dapat melihat orang lain bukan sebagai musuh tetapi sebagai sahabat. Keterbukaan memungkinkan orang-orang Kristen dapat menjadi berkat bagi sesamanya.[13]


MATERI 4 : PEMAHAMAN PAK

A.   Pengertian Pendidikan Agama Kristen
E.G.  Homrighausen mengatakan: “Pendidikan Agama Kristen berpangkal pada persekutuan umat Tuhan.[14] Menurut Warner C. Graedorf PAK adalah “Proses pengajaran dan pembelajaran yang berdasarkan Alkitab, berpusat pada Kristus, dan bergantung kepada Roh Kudus, yang membimbing setiap pribadi pada semua tingkat pertumbuhan dalam setiap aspek kehidupan, dan melengkapi mereka bagi pelayanan yang efektif, yang berpusat pada Kristus sang Guru Agung dan perintah yang mendewasakan pada murid” Menurut Martin Luther PAK adalah pendidikan yang melibatkan warga jemaat untuk belajar teratur dan tertib agar semakin menyadari dos mereka serta bersukacita dalam firman Yesus Kristus yang memerdekakan. [15]
Jadi, Pengertian pendidikan agama Kristen adalah kegiatan politis bersama pada peziarah dalam waktu yang secara sengaja bersama mereka memberi perhatian pada kegiatan Allah di masa kini kita, pada cerita komunitas iman Kristen, dan visi kerajaan Allah, benih-benih yang telah hadir diantara kita.[16]
B.   Hakikat PAK
Hakikat PAK adalah usaha yang dilakukan secara kontinu dalam rangka mengembangkan kemampuan para siswa agar dengan pertolongan Roh Kudus dapat memahami dan menghayati kasih Allah didalam Yesus Kristus yang dinyatakannya dalam kehidupan sehari-hari, terhadap sesama dan lingkungan hidupnya.[17]
C.   Ruang Lingkup PAK
Ruang lingkup PAK mencangkup semua bentuk pelayanan pendidikan dan pembinaan Kristen untuk semua lapisan usia yang menjadi tanggung jawab dan  di selengkarakan oleh gereja secara teratur, bertujuan, dan terus menerus. Mata pelajaran Agama Kristen di sekolah atau perguruan tinggi hanyalah sebagian kecil dari PAK, namun menjangkau massa yang sngat besar. [18]
D.   Tujuan PAK
Hieronimus (345-420), PAK adalah pendidikan yang tujuannya mendidik  jiwa sehingga menjadi bait Tuhan “haruslah kamu sempurna sama seperti Bapa-Mu yang di surga adalah sempurna”. Agustinus (345-430), PAK adalah pendidikan yang bertujuan mengajar orang supaya “melihat Allah dan hidup bahagia”. John Calvin (1509-1664), PAK bertujuan mendidik semua putra-putri gereja agar mereka, terlibat dalam penelaahan Alkitab secara cerdas sebagaimana dengan bimbingan Roh kudu, mengambil bagian dalam kebaktian dan memahami keesaan Gereja. Diperlengkapi untuk memilih cara-cara mengejawantakan pengabdian diri kepada Allah Bapa dan Yesus Kristus dalam pekerjaan sehari-hari serta hidup bertanggung jawab dibawah kedaulatan Allah.[19]

MATERI 5 : REALITAS PLURALISME MASYARAKAT INDONESIA
A.   Pluralisme Masyarakat Indonesia
Indonesia adalah negara kesatuan dan memegang teguh falsafah “Bhineka Tunggal Ika”. Indonesia menyadari bahwa keanekaragaman ini dapat  menjadi potensi kekuatan tetapi juga menjadi ancaman dan sumber malapetaka bangsa. Untuk itulah persatuan dan kesatuan bangsa harus terus diperjuangkan dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Ini adalah tugas seluruh bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai golongan, suku, ras dan agama.[20]
B.   Kemajemukan Aliran Keagamaan
Indonesia kaya akan aliran-aliran keagamaan yang di akui oleh pemerintah maupun lembaga-lembaga keagamaan. Islam misalnya ada NU, Muhammadyah, dan lain-lain. di Kristen ada Protestan, Metodhist, Advent, Bala Keselamatan, Baptis, Pentakosta, Injili dan Kharismatik. Supaya semua dapat rukun bersama dalam wadah kesatuan RI, maka pemerintah pun mengatur pergaulan antar agama. Semua itu dilakukan agar heterogenitas agama-agama di Indonesia dapat hidup rukun dan damai.[21]
C.   Sensitivitas Keagamaan
Menurut Budiono, sensitif ialah peka. Adapun sensitivitas ialah perasaan yang peka atau yang lekas timbul.[22] Oleh karena itu, rasa sensitif bisa muncul dalam dua bentuk yaitu sensitif positif dan sensitif negatif. Oleh karenaitu, umat agama apapun perlu kembali merenungkan kembali esensi agama-agama yang mereka anut. Agama apapun itu baik Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu tidak pernah mengajarkan kepada pemeluknya untuk membunuh umat lain yang berbeda agama tanpa ada alasan yang jelas. Setiap agama tentunya punya nilai-nilai substantif berupa kasih sayang, toleransi, tolong menolong, dsb. Nilai-nilai itulah yang harusnya diambil ketika seseorang hidup di tengah masyarakat yang plural dan majemuk.
Menurut beberapa kajian, rasa sensitif (sensitivitas) beragama muncul dikarenakan kembali pada dogma dan dengan oposisi biner, hitam-putih, salah-benar. Mereka yang termasuk hitam adalah mereka yang salah dan disebutnya sebagai setan jahat, sementara yang putih adalah mereka yang benar termasuk anak Tuhan.[23] Rasa sensitif yang menyebabkan konflik dan kekerasan atas nama agama atau Tuhan lebih disebabkan oleh karena pemeluk semua agama tidak konsisten dengan keyakinannya sendiri.[24]
Yang perlu diingat, bahwasannya setiap komunitas mempunyai  keyakinan tersendiri dalam beberapa hal tertentu. Hendaknya perbedaan tersebut tidak dapat menjadi alasan untuk menebarkan kekerasan diantara satu kelompok terhadap kelompok lain. Intinya, keyakinan kelompok tertentu harus dihargai dan dihormati.[25]


MATERI 6 : PLURALISME MASYARAKAT DI INDONESIA
A.   Keanekaragaman Gereja di Indonesia
Agama Kristen di Indonesia memiliki banyak denominasi gereja, mulai dari GPI (Gereja Protestan di Indonesia), sampai pada gereja kharismatik. Gereja Protestan di Indonesia merupakan kelanjutan dari Indische Kerk dengan tradisi Kalvinis; mencakup Gereja Masehi Injili di Minahasa (1934), Gereja Protestan Maluku (1935), Gereja Masehi Injili di Timor (1947), Gereja Toraja (1947), Gereja Protestan di Indonesia Bahagian Barat (GPIB, 1948), Gereja Protestan di Sulawesi Tenggara (1957), Gereja Protestan di Indonesia di Gorontalo (1965), Gereja Protestan Indonesia di Donggala (1965), Gereja Protestan di Indonesia di Buol/Tolitoli (1964), Gereja Kristen Luwuk Banggai (1966), Gereja Protestan Indonesia di Irian Jaya (1985).[26]
Seiring waktu, jumlah gereja bertambah besar dan kekristenan Indonesia semakin beraneka ragam. Penyebab ialah mekarnya beberapa gereja akibat unsur kesukuan/kedaerahan, Penyebab lain bertambahnya gereja di Indonesia adalah masuknya atau perluasan pengaruh denimonasi-denominasi jenis kebangunan.[27]
B.   Keesaan Gereja di Indonesia
Keesaan gereja di Indonesia diwujudkan dalam gerakan oikumenis oleh gereja-gereja di Indonesia.[28] Pada tahun 1949, diusahakan pendirian DGI sebelum Konferensi East Asia Christian Conference di Bangkok, namun tidak tercapai. Selanjutnya pada tanggal 6-11 November 1949 diadakan Konperensi Persiapan Dewan Geredja-geredja di Indonesia.[29]
Pada tanggal 21-28 Mei 1950 diadakan Konferensi Pembentukan Dewan Gereja-gereja di Indonesia, bertempat di Sekolah Theologia Tinggi (sekarang STT Jakarta). Salah satu agenda dalam konferensi tersebut adalah pembahasan tentang Anggaran Dasar DGI. Pada tanggal 25 Mei, Anggaran Dasar DGI disetujui oleh peserta konferensi dan tanggal tersebut ditetapkan sebagai tanggal berdirinya Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) dalam sebuah "Manifes Pembentoekan DGI. Pada tanggal 25 Mei 1950, DGI terbentuk. DGI bertujuan untuk pembentukan gereja Kristen yang esa di Indonesia.[30]
C.   Kesatuan Dalam Kepelbagaian
Indonesia merupakan bangsa yang terdiri atas berbagai suku bangsa, adat istiadat dan agama; sehingga bangsa Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk. yang hidup tersebar dalam ribuan pulau. Kita patut bersyukur kepada Tuhan, bahwa bangsa kita yang terdiri atas berbagai suku, bahasa, dan agama tersebut, dapat bersatu dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika.[31] Bhineka Tunggal Ika adalah suatu semboyan nasional yang berarti “berbeda-beda tapi tetap satu. Semboyan ini lahir sebagai refleksi atas realitas kemajemukan bangsa, sekaligus sebagai jawaban agar kemajemukan itu tidak memicu disintegrasi, tetapi justru menjadi tiang-tiang penyangga bagi hadirnya sebuah bangsa yang kukuh.

MATERI 7 : PAK DALAM MASYARAKAT MAJEMUK
A.   Dasar Hukum
Kebebasan beragama di negara Indonesia,mengacu pada UUD 1945.   Jika kita merujuk pada pasal 28E ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi : Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali dan Pasal 28E ayat (2) menyatakan. “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya ”.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, disebutkan bahwa: pendidikan agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antar umat beragama (Pasal 2 ayat 1).
B.   Dasar teologis
1.    Allah sebagai pencipta dan manusia sebagai ciptaan
Dasar teologis yang pertama adalah apa yang kita baca terutama dalam kitab Kejadian pasal 1-11, tetapi juga dalam banyak bagian Alkitab yang lain, yaitu pengakuan iman bahwa Allah adalah penciptaan alam semesta dan manusia adalah makhluk ciptaan-Nya. Dalam peristiwa penciptaan, sesudah Allah menciptakan Adam, Allah menempatkan manusia di taman Eden dan berfirman: “tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong yang sepadan dengan dia” ­­(Kej 2:18).
2.    Manusia sebagai makhluk fana yang dapat mati
Manusia sering kali disebut sebagai “daging”. Maksudnya, bukan pertama-tama mengungkapkan aspek kejasmanian manusia, melainkan aspek kerapuhannya sebagai mahluk fana yang dapat mati.
3.    Umat Allah sebagai pelayan kebersamaan manusia
Pada akhir Injil Matius kita menjumpai pasal yang terkenal mengenai penghakiman terakhir (Mat 25:31-46). Menarik sekali bahwa di sini Yesus mengidentifikasi pelayanan kepada-Nya dengan pelayanan kepada mereka yang tersisih dalam masyarakat.
4.    Gambaran Kristus sebagai Hamba-Mesias
Dasar teologis yang keempat adalah bagaimana kita memandang Kristus. Umumnya kita menganggap bahwa pembicaraan mengenai Kristus dalam dialog antara agama selalu akan mengalami jalan buntu karena agama lain tidak dapat menerima keilahian Kristus.
5.    Makna keselamatan dalam kehidupan bersama dengan yang lain
Pokok keselamatan yang menjadi dasar teologis yang kelima dalam pembicaraan ini, ternyata adalah sesuatu yang sangat sensitive bagi orang-orang Kristen di Indonesia dalam percakapan yang berkaitan dengan kemajemukan agama. Keselamatan dalam Alkitab tidak bisa diartikan hanya mutlak bersifat partikularistik. Didalam Alkitab juga jelas bahwa keselamatan juga mengandung makna universalistik.[32]

MATERI 8 : PAK DAN KETERBUKAAN
Prinsip pengajaran Kristen adalah setiap orang beriman harus fanatik akan imannya tapi tidak boleh fanatisme, karena fanatisme adalah salah satu sikap buruk dalam keagamaan. Peserta didik harus diajarkan agar mereka sungguh-sungguh berketetapan hati, setia ssampai akhir terhadap imannya terhadap Yesus Kristus. iman dan keselamatan yang telah diterima dari Yesus Kristus tidak dapat ditukarkan dengan apapun di dunia ini. Namun dipihak lain, iman itu harus didemonstrasikan lewat hidup pribadi kepada siapa pun. Kasih Yesus Kristus melampaui batas-batas agama dan batas-batas manusiawi. Orang beriman harus mampu bergaul dengan semua penganut agama lain dan bekerja sama dengan mereka untuk membangun kesejahteraan umat manusia tanpa kecuali. Karena Kristus sendiripun mengasihi semua orang, bahkan mengasihi dunia dan segala isinya.[33]
PAK Dalam Konteks Kekristenan
1.    PAK Bukan Untuk Mengajarkan Suatu Doktrin Gereja
Keberadaan siswa disekolah berasal dari berbagai organisasi dan aliran gereja. hal tersebut adalah kenyataan yang harus diterima dan harus diakui oleh setiap guru PAK. Oleh karena itu, tidak boleh ada tendensi yang dilakukan guru PAK mengajarkan doktrin gerejannya kepada peserta didik. Isi pengajaran harus bertujuan mengajarkan iman Kristen yang dinyatakan di dalam Alkitab. Kurikulum PAK yang ada saat ini sudah disusun sedemikian rupa, sehingga materi-materi pengajaran lebih menekankan kepada ajaran-ajaran pokok organisasinya. Seorang guru PAK hendaknya melepaskan organisasinya, alirannya dan dengan tulus berpusat kepada pokok-pokok pengajaran iman Kristen. Guru PAK tidak boleh membeda-bedakan gereja atau membenarkan gerejannya sendiri sebagai gereja yang terbaik dan gereja lain kurang baik.
2.    PAK Tidak Melakukan Fungsi Gerejawi
Dalam gereja Kristen ada fungsi-fungsi pelayanan yang hanya dapat dilakukan oleh gereja dan tidak lazim dilakukan oleh pelayanan-pelayan di luar gereja. hal ini dimaksudkan adalah untuk menjaga ketertiban dan kesakralan upacara Kristen tersebut dan menghindarkan kekacauan dalam melaksanakan upacara-upacara keagamaan. Perjamuan Kudus dan Baptisan adalah dua sakramen yang diakui oleh gereja. pelaksanaannya dilakukan oleh gereja, bukan oleh pribadi-pribadi sekalipun ia dinyatakan sebagai guru agama Kristen. Seorang guru PAK yang mengajar disekolah tidak memiliki wewenang untuk melakukan Perjamuan Kudus dan Baptisan Kudus dalam kapasitasnya sebagai guru. Ia harus mengarahkan peserta didik untuk ambil bagian digereja masing-masing. Tugas guru PAK adalah memberi pengajaran tentang arti dan makna Perjamuan Kudus dan Baptisan sesuai dengan firman Allah, sehingga peserta didik dapat mengerti arti sebenarnya.
3.    Menghargai Keanekaragaman Gereja
Guru PAK di sekolah harus menghargai dan menjunjung tinggi keanekaragaman gereja dari setiap peserta didik. Tidak boleh ada usaha sengaja ataupun tidak sengaja untuk mempengaruhi peserta didik untuk masuk ke dalam satu organisasi gereja tertentu, termasuk gereja guru yang bersangkutan.[34]

MATERI 9 : PRINSIP-PRINSIP PAK DALAM MASYARAKAT MAJEMUK
A.   PAK dalam konteks masyarakat majemuk (Indonesia)
Ada dua hal yang harus diperhatikan PAK dalam kemajemukan mastarakat :
1.    Kemandirian Iman
PAK haruslah menjadi salah satu usaha pembentukan kemandirian iman. Bahwa peserta didik mampu memiliki ketetapan iman maupun ketetapan hati meskipun di lingkungan yang amat berbeda. Artinya disini PAK menjadi sarana untama dalam pembentukan iman kristiani, mampu mengokohkan iman kristiani agar tidak mudah terpengaruh dengan hal-hal yang tidak baik yang ada di lungkungan sekitar.
2.     Keterbukaan
Pendidikan Agama Kristen haruslah mengajarkan kepada peserta didik pada keterbukaan. Keterbukaan akan membawa diri dari menjelek-jelekkan agama lain tetapi melihat secara positif bahwa dalam agama lain pun terdapat ajaran-ajaran baik yang dapat diterapkan dalam kehidupan bersama. PAK mengajarkan bagaimana bersikap terbuka bagi masyarakat, artinya kita tidak perlu menutup diri dari lingkungan bahkan kita tidak boleh memndang remeh agama lain dan menganggap agama kitalah yang paling benar. Melainkan sebaliknya, kita harus ramah dan menerima keberadaan agama lain, dan menghargai ajarran-ajaran mereka. Mungkin ajaran-ajran yang baik dalam agama mereka dapat kita jadikan contoh untuk dapat diterapkan dalam kehidupan bersama.


B.   Prinsip Utama PAK Dalam Masyarakat Majemuk
Untuk menerapkan prinsip-prinsip PAK ini, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan:
Pendekatan yang cocok kepada orang yang berbeda agama adalah pendekatan dialogis. Dialog beranjak dari anggapan bahwa tiap-tiap agama mempunyai tuntutan mutlak yang tidak dapat dipungkiri. Pendekatan dialog bukan berarti penyelarasan semua keyakinan melainkan pengakuan bahwa tiap-tiap orang beragama memiliki keyakinan yang teguh dan mutlak. Selain itu, keyakinan-keyakinan itu berbeda. Dalam berdialog dengan orang yang berbeda, dibutuhkan kematangan ego yang memadai supaya lawan bicara tidak merasa kalau mereka di sesuaikan.
-       Sikap yang perlu dihindari
Hidup ditengah orang yang berbeda agama membuat kita untuk lebih peka dengan sikap hidup sehari-hari. Supaya tidak merasa di asingkan maka sikap yang perlu dihindari adalah, Fanatisme, Suka membeda-bedakan, Egois, Memutar lagu rohani dengan volume yang sangat besar, Mengejek agama lain, Tidak menerima pemberian orang lain, Sensitivisme.
-       Sikap yang harus dilakukan
Ada beberapa hal yang perlu kita lakukan supaya orang yang berbeda dengan kita bisa menerima perbedaan dan membuat kita nyaman adalah Saling terbuka, Menerima perbedaan, Saling mengingatkan untuk kebaikan, Menerima teguran, Saling berbagi, Suka memberi, Tegur sapa, Saling membantu.


MATERI 10 : SIKAP YANG PERLU DI HINDARI DALAM MASYARAKAT MAJEMUK
A.   LATAR BELAKANG PLURALISME DI INDONESIA
Pluralisme adalah sikap menghargai, menerima dan memandang agama lain sebagai agama yang baik dan memiliki jalan keselamatan.  Misalnya agama Kristen mengakui keberadaan agama lain tetapi keselamatan hanya ada di dalam Yesus Kristus.
B.   ARAH PAK DALAM MASYARAKAT MAJEMUK
Berkaitan dengan konteks masyarakat Indonesia yang memiliki heterogenitas, baik agama,suku, dan golongan,maka perlu dikaji ulang arah PAK dalam masyarakat majemuk. Diharapkan dengan pengajaran PAK dalam konteks masyarakat majemuk,peserta didik mampu hadir dan mempraktekkan imannya ditengah-tengah lingkungannya tanpa mengkompromikan dogma iman yang dimilikinya.
1.    Belajar Hidup dalam Perbedaan
Pengembangan sikap toleran,empati,dan simpati haruslah terus dibangun sebagai pra syarat eksistensi keragaman agama yang ada. Agama-agama haruslah dapat duduk bersama-sama untuk berdialog tentang apa yang dilakukan bersama.
2.    Membangun Saling Percaya
Membangun saling percaya adalah modal penting dalam membangun suatu masyarakat yang heterogenitas. Jika tidak maka akan terjadi berbagai konlik dalam masyarakat.
3.    Memelihara Saling Pengertian
Saling pengertian adalah kesadaran bahwa nilai-nilai yang di anut oleh orang lain memang berbeda,tetapi mungkin dapat saling melengkapi dengan nilai-nilai yang kita anut serta member kontribusi terhadap hubungan yang harmonis.
4.    Sikap Saling Menghargai
Saling menghargai adalah sifat dasariah manusia. Setiap manusia haruslah dihargai sebagaimana ia ada.Tidak ada alasan bagi kita untuk tidak menghargai orang lain.
C.   SIKAP YANG PERLU DI HINDARI DAN PERLU DILAKUKAN
Pendekatan yang cocok kepada orang yang berbeda agama adalah pendekatan dialogis. Dalam berdialog dengan orang yang berbeda, dibutuhkan kematangan ego yang memadai supaya lawan bicara tidak merasa kalau mereka di sesuaikan.

1.    Sikap yang perlu dihindari
Hidup ditengah orang yang berbeda agama membuat kita untuk lebih peka dengan sikap hidup sehari-hari. Supaya tidak merasa di asingkan maka sikap yang perlu dihindari adalah: Fanatisme, Suka membeda-bedakan, Egois
2.    Sikap yang harus dilakukan
Saling terbuka, Menerima perbedaan, Saling mengingatkan untuk kebaikan, Menerima teguran, Saling berbagi, Suka memberi, Tegur sapa, Saling membantu

MATERI 11 : PENDEKATAN PAK DALAM MASYARAKAT MAJEMUK

A.   Pendekatan PAK dalam masyarakat majemuk
Teolog lainnya, Daniel L Migliore, mencoba melihat secara spesifik  respons Kristen terhadap orang-orang yang iman dan agamanya berbeda. Setiap cara dan pandangan ini di lihat berdasarkan client tersendiri mengenai finalitas penyataan Allah dalam Yesus Kristus. Penegasan Kristen terhadap “finalitas Kristus sebagai manapun, untuk banyak orang Kristen, merupakan pokok iman mereka yang tidak dapat di negosiasika Pendekatan yang cocok kepada orang yang berbeda agama adalah pendekatan dialogis. Dialog beranjak dari anggapan bahwa tiap-tiap agama mempunyai tuntutan mutlak yang tidak dapat dipungkiri. Pendekatan dialog bukan berarti penyelarasan semua keyakinan melainkan pengakuan bahwa tiap-tiap orang beragama memiliki keyakinan yang teguh dan mutlak
B.   Model PAK yang Multikutur dan Inklusif
Pendidikan multicultural dapat dirumuskan sebagai wujud kesadaran tentang keanekaragaman cultural, hak-hak asasi manusia, serta pengurangan atau penghapusan berbagai jenis prasangka untuk membangun suatu kehidupan masyarakat yang adil dan maju. Pendidikan multicultural juga dapat diartikan strategi/perencanaan untuk mengembangkan kesadaran akan kebanggaan seseorang terhadap bangsanya. Di Indonesia pendidikan multicultural relative baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang hetrogen, plural, terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang diberlakukan sejak 1999.
Pengertian inklusif digunakan sebagai sebuah pendekatan untuk membangun dan mengembangkan sebuah lingkungan yang semakin terbuka; mengajak masuk dan mengikutsertakan semua orang dengan berbagai perbedaan latar belakang, karakteristik, kemampuan, status, kondisi, etnik, budaya dan lainnya.
C.    Contoh Model PAK yang multikultur dan inklusif
Untuk mendisain Pendidikan multicultural secara praktis memang tidak mudah. Akan tetapi untuk mewujudkan pendidikan multicultural maka perlu diperhatikan dua model, Dial dan Toleransi.
D.   Contoh PAK yang Inklusif
Untuk membebaskan murid dari sekat-sekat primordial, pendidikan agama harus inklusif. Metode dialogis dan tidak indoktrinatif, mengajak murid untuk merefleksikan realitas kemajemukan dan menggali nilai-nilai spritualitas sosial. Materi pelajaran di sekolah harus bernuansa inklusif.
Contoh PAK yang inklusif di sekolah yaitu murid dibiasakan pertanyaan “Bagaimana menjadi sesama bagi orang lain?”, bukan selalu bertanya “Siapakah sesamaku?”. Dalam hal ini, Kitab Suci dan tradisi religius kaya dalam memberikan motivasi bagaimana hidup sebagai sesama dan menjadi sesama bagi orang lain.



MATERI 12 : STRATEGI PAK DALAM MASYARAKAT MAJEMUK
A.   Konsep Dasar Perencanaan
Menurut Ulbert Silalahi, prencanaan merupakan kegiatan menetapkan tujuan serta merumuskan dan mengatur pendayagunaan manusia, informasi, finansial, metode dan waktu untuk memaksimalisasi efisiensi dan efektivitas pencapaian tujuan.[35]
B.   Konsep Strategi Pembelajaran
Berkaitan dengan bagaimana merencanakan strategi pembelajaran Pendidikan Agama Kristen dalam masyarakat majemuk, penting mengerti apa itu strategi. Jadi, strategi pembelajaran diartikan sebagai perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang di desain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. [36]
C.   Konsep Strategi Pembelajaran PAK Dalam Masyarakat Majemuk
1)    Strategi Pembelajaran Bersifat Terbuka Terhadap Perubahan
Pendidikan Agama Kristen harus mampu  bersifat terbuka kepada perubahan dan kebutuhan peserta didik yang yang hidup berpadanan atau berdampingan dengan orang lain, sehingga dari bekal pendidikan itu peserta didik mampu memahami dan menempatkan diri secara realistis, kritis, dan kreatif dalam setiap situasi yang dihadapi.  Pendidikan Agama Kristen tidak boleh membawa peserta didik  menjadi introvert melainkan ekstrovert, artinya mampu menempatkan dirinya sebagai orang percaya ditengah-tengah lingkungannya.[37]
2)    Strategi Pembelajran learning to life together (hidup dalam kebersamaan)
Strategi ini mengajarkan agar peserta didik membangun saling percaya. Jika tidak maka akan terjadi konflik dalam masyarakat.  Pendidikan Agama Kristen bertujuan untuk mendorong agar peserta didik dapat menghayati gaya hidup Kristiani melalui keterlibatannya dalam berbagai kehidupan di sekolah, di keluarga ataupun  di lingkungannya.
3)    Strategi Pembelajaran  Melalui Penelaan Firman Tuhan
Pendidikan Agama Kristen hendaknya dapat membawa peserta didik untuk memahami Firman Allah  dan menjadikan Firman itu sebagai pedoman kehidupan terhadap Allah, sesama, maupun diri sendiri.[38] Melalui penelaan firman Tuhan, siswa diajar agar memiliki kesadaran saling pengertian yang menyetujui perbedaan.
4)    Strategi Pembelajaran ekspositori
Strategi pembelajaran ekspositori merupakan strategi yang digunakan dengan menganggap guru berfungsi sebagai penyampai informasi..
5)    Strategi pembelajaran kelompok
Bentuk strategi pembelajaran kelompok ini siswa diajar oleh seorang guru atau beberapa guruStrategi ini membentuk pola, tatanan dan nilai-nilai kebersamaan untuk saling membutuhkan sehingga terjadi kerja sama yang baik antara pribadi siswa dan siswa yang lain.


MATERI 13 : PENGEMBANGAN MODEL PAK

A.   Model PAK Multikultural
Pendidikan multikultural merupakan upaya kolektif suatu masyarakat majemuk untuk mengelola berbagai prasangka sosial yang ada dengan cara-cara yang baik. Tujuannya menciptakan hubungan lebih serasi dan kreatif di antara berbagai golongan penduduk dalam masyarakat. Melalui pendidikan multikultural, peserta didik yang datang dari berbagai golongan penduduk dibimbing untuk saling mengenal cara hidup mereka, adat istiadat, kebiasaan, memahami aspirasi-aspirasi mereka serta untuk mengakui dan menghormati bahwa tiap golongan memiliki hak untuk menyatakan diri menurut cara masing-masing. Dalam konteks masyarakat Indonesia, misalnya, melalui pendidikan multikultural peserta didik dapat dibimbing untuk memahami makna Bhinneka Tunggal Ika dan untuk mengamalkan semboyan ini dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Pendidikan multikultural perlu diberikan sejak dini di lingkup keluarga. Sejak kecil anak perlu dibiasakan mengakui dan menghargai perbedaan agama, ideologi, budaya, dan segala perbedaaan lain. Kuncinya ada pada komunikasi atau dialog yang perlu terus dikembangkan oleh orang tua. Anak diberi ruang untuk mengekspresikan dan mendiskusikan segala perbedaan yang ada. Untuk mencapai itu, orang tua harus mampu menghilangkan otoritas tunggal. Salah satu contoh penerapan pendidikan multikultural dikeluarga adalah mengajak anak menonton mimbar agama lain. Dari situ anak diajak untuk memahami nilai-nilai yang sama atau yang berbeda lalu didiskusikan.
B.   Model PAK Inklusif
Pendidikan yang inklusif merupakan pendidikan yang mengajarkan kepada siswa bahwa mereka harus saling menghargai satu sama lain dalam perbedaan yang ada baik dari segi suku, ras, bahasa dan lain sebagainya. Pendidikan inklusif merupakan pengajaran agama yang lebih menekankan pada nilai-nilai pluralisme dan kebersamaan.
Menurut Haidar Bagir, Pendidikan agama khususnya di sekolah dinilai gagal. Memang, syiar keagamaan tumbuh begitu pesat sedikitnya dua dekade belakagan ini. Entah dalam cara berpakaian, bertambahnya rumah-rumah ibadah termasuk makin besarnya minat orang terhadap berbagai barang konsumsidan aksesoris yang menampilkan citra sebuah agama. Namun, kenyataannya negeri kita yang telah mengalami reformasi politik masih bertengger dalam jajaran negara yang korup didunia. Ada beberapa hal yang menyebabkan pendidikan agama di sekolah dinilai telah gagal, yaitu sebagai berikut: pendidikan agama kita selama ini ditengarai masih berpusat pada hal-hal yang  bersifat simbolik, ritualistik dan legal formalistik, pendidikan agama kita cenderung bertumpu pada penggarapan ranah kognitif atau paling banter hingga ranah afektif, dan pendidikan agama di sekolah selama ini tidak berhasil meningkatkan etika dan moralitas peserta didik .
DAFTAR PUSTAKA

Boelkhe, R. Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama
         Kristen : dari Plato sampai Ignatius Loyola. Jakarta : BPK. Gn. Mulia, 2015.
Boelkhe, R. Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama : dari Yohanes Amos Comenius sampai Perkembangan PAK di Indonesia. Jakarta : BPK. Gn. Mulia, 2015.
Homrighausen, E.G. & Enklaar, I. H. Pendidikan Agama Kristen. Jakarta : BPK
     Gn. Mulia. 2015
Suryosubroto. Manajemen Pendidikan di Sekolah. Jakarta : Rineka Cipta. 2010
Kristanto Paulus, Prinsip dan Praktek Pendidikan Agama Kristen, Yogyakarta  ANDI, 2006.
Stefanus Daniel, E.G.Homrighausen. Pendidikan Agama Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1985.
Groome, Thomas H. Christian Religious Education-Pendidikan Agama Kristen. Jakarta: BPK Gn. Mulia.
Robert P. Borong. Berakar di dalam  Dia dan dibangun di atas Dia. Jakarta: BPK. 1998
Pendidikan Agama Kristen Kemajemukan, Bandung. BMI, 2009.
John M. Nainggolan. PAK dalam Masyarakat Majemuk. Bandung : Bina Media Informasi. 2009.
Budiono, Kamus Ilmiah Populer Internasional. Surabaya : Alumni. 2005.
A.M. Hendropriyono. Terorisme : Fundamentalis, Kristen, Yahudi, Islam.Jakarta : Kompas Gramedia.  2009.
Abdul Munir Mulkhan. “Dialektika Agama dan Kebudayaan Bagi Pembebasan”, dalam Dinamika Kebudayaan dan Problem Kebangsaan. Yogyakarta : LeSFI. 2011.
Zuhairi Misrawi. Pandangan Muslim Moderat : Toleransi, Terorisme dan Oase Perdamaian. Jakarta : Kompas Gramedia. 2010.
Heuken. 2004. Ensiklopedi Gereja Jilid 2: C-G. Jakarta: Ikrar Mandiri Abadi.
Van Den End. 2009.  Ragi Carita 2. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
De Jonge. 2014. Menuju Keesaan Gereja: Sejarah Dokumen-dokumen dan Tema-tema Gerakan Oikumenis. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Sairin, Weinata. 2006. Kerukunan Umat Beragama: Pilar Utama Kerukunan Berbangsa. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Akira. Menggali Nilai-nilai Budi Pekerti Dalam Keterbukaan. 2011.
Ismael, Andar. 2010. Ajarlah Mereka Melakukan. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Hadinoto, N.K. Atmadja. 2011. Dialog dan Edukasi. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Stefanus, Daniel. 2009. Pendidikan Agama Kristen Kemajemukan. Bandung: BMI.
Damarputera, Eka. 2003. Iman dan tantangan Zaman. Jakarta : BPK Gunung Mulia.


[1] John Nainggolan, PAK dalam Masyarakat Majemuk, (BMI 2009) Hlm 14-30
[2] E.G.Homrighausen, Pendidikan Agama Kristen, (BPK 2014) Hlm 123
[3] G.Soegiasman, B.A., Pelaksanaan dan persoalan pendidikan agama Kristen di sekolah – sekolah dalam persekutuan gereja – gereja di Indonesia, Strategi Pendidikan agama Kristen, ( Jakarta : BPK. Gn Mulia, 1989 h.49)
[4] Homrighausen, Enklaar. Pendidikan Agama Kristen ( Jakarta : BPK Gn, Mulia, 2015) h. 165
[5] Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi (Jakarta: Rineka Cipta, 2010) Hal: 97-100
[6] Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi (Jakarta: Rineka Cipta, 2010) h. 100-101
[7] Suryosubroto, Manajemen Pendidikan di Sekolah ( Jakarta : Rineka Cipta, 2010 ) h.114
[8] Peraturan Pemerintah No. 55 tahun 2007 (diunduh tgl 12 Maret; 18:37)
[9] Andar Ismail, Ajarlah mereka melakukan, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2006 ), Hal. 201
[10] Robert Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen (dari Yoh. Amos Comenius sampai perkembangan PAK di Indonesia), (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2015), Hal. 802
[11] Paulus lilik Kristanto, Prinsip dan praktek pendidikan agama Kristen, ( Yogyakarta : ANDI, 2006 ), Hal. 4
[12] KBBI
[13] Daniel Stefanus, Pendidikan Agama Kristen Kemajemukan, ( Bandung : BMI, 2009 ). Hal. 10
[14]  Lih. E.G.Homrighausen, Pendidikan Agama Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985), Hal.  l12
[15] Ibid, hlm. 2-4
[16] Lih. Groome, Thomas H. Christian Religious Education-Pendidikan Agama Kristen. Jakarta: BPK
[17] Lih. Homrighausen. Hlm. 23-25
[18] Robert P. Borong, BERAKAR DALAM Dia dan dibangun di atas Dia, Jakarta: BPK, 1998 Hal 108
[19] Drs.Paulus Lilik Kristianto, Prinsip Dan Praktik PAK, yoyakarta: Andi. 2006 Hal 2-4
[20] John M. Nainggolan, PAK dalam Masyarakat Majemuk (Bandung : Bina Media Informasi, 2009) hal.43-44
[21] John M. Nainggolan, PAK dalam Masyarakat Majemuk (Bandung : Bina Media Informasi, 2009) hal.44
[22] Budiono, Kamus Ilmiah Populer Internasional (Surabaya : Alumni, 2005) hal.591
[23] A.M. Hendropriyono, Terorisme : Fundamentalis, Kristen, Yahudi, Islam (Jakarta : Kompas Gramedia, 2009) hal.160
[24] Abdul Munir Mulkhan, “Dialektika Agama dan Kebudayaan Bagi Pembebasan”, dalam Dinamika Kebudayaan dan Problem kebangsaan (Yogyakarta : LeSFI, 2011) hal.14
[25] Zuhairi Misrawi, Pandangan Muslim Moderat : Toleransi, Terorisme dan Oase Perdamaian (Jakarta : Kompas Gramedia, 2010) hal.140
[26] Heuken, Ensiklopedi Gereja: 2, C-G (Jakarta: Ikrar Mandiri Abadi, 2004), hal. 241.
[27] Van Den End, Ragi Carita 2 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), hal. 357-365.
[28] IBID, hal 385.
[29] De Jonge, Menuju Keesaan Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2014), hal. 86.
[30] http://id.wikipedia.org/wiki/Persekutuan_Gereja-gereja_di_Indonesia/.
[31] Weinata Sairin, Kerukunan Umat Beragama: Pilar Utama Kerukunan Berbangsa (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), hal. 55-56.
[32] Daniel stefanus, PAK Kemajemukan, (Bandung: Bina Media Informasi, 2009). Hlm 40-50
[33] Hlm. 67-68
[34] Hlm. 64-67
[35] Supardi & Darwyan syah.  Perencanaan Pendidikan. (Jakarta: Diadit Media). Hal: 2
[36] Wina Sanjaya. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pembelajaran. (Jakarta: Kencana. 2006). h: 126
[37] John M. Nainggolan. PAK dalam masyarakat Majemuk (Jakarta: BMI) h. 78
[38] Ibid, Hal. 77